“Marilah kita duduk sejenak untuk beriman”
(Muadz bin Jabal)
(Muadz bin Jabal)
“Marilah kita beriman sejenak.
Sesungguhnya hati lebih cepat berbolak-balik
daripada isi periuk yang sedang menggelegak”
(Ibnu Rawaahah, kepada Abu Dardaa’)
Sesungguhnya hati lebih cepat berbolak-balik
daripada isi periuk yang sedang menggelegak”
(Ibnu Rawaahah, kepada Abu Dardaa’)
Bobby
De Porter dalam bukunya Quantum Learning memberikan satu tips penting
dalam teknik membaca. Dia berkata, agar apa yang kita baca melekat di
benak, maka perbanyaklah jeda saat membaca. Hal ini terkait hasil
penelitian tentang cara kerja otak di mana otak kita memiliki kemampuan
menerima informasi yang penuh (100%) saat pertama kali membaca, namun
akan terus berkurang selama proses membaca tersebut.
Memang
demikianlah adanya. Kita manusia penuh dengan keterbatasan. Otak yang
seringkali mampu menemukan banyak kejadian luar biasa pun memerlukan
jeda untuk kemudian bisa kembali bekerja.
Bukan hanya otak (akal)
saja yang membutuhkan jeda. Raga dan jiwa, sebagai elemen yang ada pada
diri manusia, juga membutuhkannya. Saat seseorang memekerjakan raganya
terus-menerus, pasti akan ada saatnya rasa lelah, letih, penat datang
sebagai sinyal yang mengarahkannya untuk berhenti sejenak.
Berhenti
sejenak bukan berarti mematahkan langkah dan menjauhkan dari tujuan.
Berhenti sejenak berbeda dengan diam. Karena ibarat berkendaraan,
berhenti sejenak dapat menghilangkan kantuk dan memulihkan kembali
stamina tubuh. Ia seperti halnya seekor burung yang hinggap di
pepohonan, menghimpun tenaga untuk kemudian kembali terbang lebih jauh.
Sama halnya dengan kereta yang berhenti di setiap stasiun untuk
menaikkan dan menurunkan penumpang, mengisi bahan bakar, mengecek mesin
agar perjalanan selamat hingga ke tujuan. Ibarat musafir yang
beristirahat seraya mencocokkan arah kompas, mengukur peta dan
memeriksa bekal perjalanan.
Begitu pentingnya jeda dalam kehidupan
ini, sehingga Rasulullah saw tidak menyudutkan Hanzalah atas segenap
perasaan yang ditumpahkan kepada beliau saat merasakan aroma
kemunafikan yang menghinggapinya.
“Ketika aku bersamamu ya
Rasulullah, aku merasakan seolah-olah syurga dan neraka itu sangat
dekat. Lantas air mataku mengalir. Tapi, di rumah aku bersendagurau
bersama anak-anak dan isteriku . Tidakkah aku ini seorang munafik ya
Rasulullah?”, ujar Hanzalah.
Rasulullah tersenyum, lalu
bersabda,“Demi yang jiwaku di tanganNya andai kalian tetap seperti
kalian di sisiku dan terus berdzikir niscaya para malaikat akan berjabat
tangan kalian, sedang kalian berada di atas tempat tidur dan di jalan
raya, akan tetapi wahai Hanzalah, ada waktumu (untuk beribadah) dan ada
waktumu (untuk duniamu)”. – HR. Muslim
Tentu pula kita ingat
bagaimana kisah Salman Al Farisi bersama sahabatnya, Abu Darda. Ia
pernah tinggal bersama Abu Darda beberapa hari lamanya. Sedang kebiasaan
Abu Darda beribadah di waktu malam dan shaum di waktu siang. Salman
melarangnya berlebih-lebihan dalam beribadah seperti itu.
Pada suatu hari, Salman bermaksud hendak mematahkan niat Abu Darda untuk shaum sunnah esok hari. Dia menyalahkannya, “Apakah engkau hendak melarangku shaum dan shalat karena Allah?” kata Abu Darda. Salman menjawab, “Sesungguhnya
kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian pula keluargamu
mempunyai hak atas dirimu. Di samping engkau shaum, berbukalah dan di
samping melakukan shalat, tidurlah!” Peristiwa itu sampai ke telinga Rasulullah saw. Beliau bersabda, “Sungguh Salman telah dipenuhi dengan ilmu”.
Satu
lagi kisah dalam kehidupan orang-orang shalih terdahulu, ketika ada
beberapa orang sahabat Nabi saw. bertanya secara diam-diam kepada
istri-istri Nabi saw. tentang amal ibadah beliau. Lalu di antara mereka
ada yang mengatakan, “Aku tidak akan menikah dengan wanita.” Yang lain
berkata, “Aku tidak akan memakan daging.” Dan yang lain lagi mengatakan,
“Aku tidak akan tidur dengan alas.” Mendengar itu, Nabi saw memuji
Allah dan bersabda, “Apa yang diinginkan orang-orang yang berkata
begini, begini! Padahal aku sendiri shalat dan tidur, berpuasa dan
berbuka serta menikahi wanita! Barang siapa yang tidak menyukai
sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” (HR Muslim dari Anas ra)
Begitu
pula dengan kehidupan Rasulullah saw sendiri. Kita pernah mendapati
kisah beliau yang menyaksikan permainan tombak dari kaum Habsyi bersama
Aisyah ra . Dan beliau juga, suatu ketika, melakukan lomba lari
bersamanya.
Sungguh, berbagai kisah di atas memberikan gambaran
kepada kita bahwa Rasulullah saw dan para shahabat memenuhi hari-hari
mereka dengan ibadah kepada Allah SWT. Dan di antara kesibukan beribadah
itu, mereka sempatkan untuk mengambil jeda menghibur jiwa bersama
orang-orang yang dicinta.
Sekarang, marilah kita tengok kehidupan
kita. Akankah kita melakukan jeda dari segenap kesibukan duniawi untuk
kemudian bermunajat kepada Allah, menanamkan kembali rasa syukur atas
setiap curahan rahman dan rahimNya yang telah lama kita abaikan? Akankah
kita merasa perlu untuk berhenti sejenak menghisab diri untuk kemudian
bertaubat menyungkur sujud kepada Sang Khaliq, meraih kembali kekokohan
iman yang kini sudah kian rapuh?
“Yaa Bilal, arihna bi shalaah.” Demikian kata Rasulullah saw kepada Bilal. “Wahai Bilal, istirahatkan kami dengan shalat.’
Dan, Rasulullah pun mengistirahatkan diri dengan shalatnya, merasakan
kesejukan dan kesenangan di dalamnya, sebagaimana pula sabda beliau, “Dan Allah menjadikan qurratul ‘ain (sesuatu yang menyejukkan dan menyenangkan hati) bagiku pada (waktu aku melaksanakan) shalat.”
Demikianlah,
Allah sang Khaliq Maha Tahu keadaan makhlukNya, Dia berikan kesempatan
kepada kita untuk berhenti sejenak dalam terminal-terminal kehidupan.
Dalam sehari ada lima waktu jeda untuk melakukan shalat. Dan dalam
setiap bilangan tahun, ada Ramadhan.
Oleh: Ummu Mushlih, IMUSKA, Korea Selatan
0 comments:
Post a Comment