Oleh: Badrul Tamam
Jima'
atau hubungan seks dalam pandangan Islam bukanlah hal aib dan hina yang
harus dijauhi oleh seorang muslim yang ingin menjadi hamba yang mulia di
sisi Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan agama lain yang menilai
persetubuhan sebagai sesuatu yang hina. Bahkan, sebagian ajaran agama
tertentu mewajibkan untuk menjauhi pernikahan dan hubungan seks guna
mencapai derajat tinggi dalam beragama.
Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk
menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah
mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tidak
bisa menyamai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam karena dosa
beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang
mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang
satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan
satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah
untuk selama-lamanya. Kabar inipun sampai ke telinga baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
lantas beliu bersabda kepada mereka, "Apakah kalian yang mengatakan
begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, adalah orang yang paling
takut dan paling takwa kepada Allah di bandingkan kalian, tapi saya
berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, serta
menikahi beberapa wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan bagian dari
umatku." (Muttafaq 'alaih)
Bahkan
dalam hadits lain disebutkan bahwa seks atau hubungan badan di jalan
yang benar akan mendatangkan pahala besar. Diriwayatkan dari Abu Dzar,
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
وَفِي
بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ
إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
"Dan
pada kemaluan (persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka (para
sahabat) bertanya, 'Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami yang
menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?' Beliau bersabda,
'Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan pada
tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika hal
tersebut diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan pahala." (HR. Muslim)
....Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup, kenikmatan dan kebaikan kepada sesama....
Ibnul Qayyim, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Istambuli dalam Tuhfatul 'Arus, mengatakan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
mengajak kepada umatnya agar melaksanakan pernikahan, senang dengannya
dan mengharapkan (padanya) suatu pahala serta sedekah bagi yang telah
melaksanakannya. Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup,
kenikmatan dan kebaikan kepada sesama. Di samping itu, juga mendapatkan
pahala sedekah, mampu menenangkan jiwa, menghilangkan pikiran kotor,
menyehatkan menolak keinginan-keinginan yang buruk."
Kesempurnaan
nikmat dalam perkawinan dan jima' akan diraih oleh orang yang mencintai
dan dengan keridlaan Rabbnya dan hanya mencari kenikmatan di sisinya
serta mengharapkan tambahan pahala untuk memperberat timbangan
kebaikannya. Oleh karena itu yang sangat disenangi syetan adalah
memisahkan suami dari kekasihnya dan menjerumuskan keduanya ke dalam
tindakan yang diharamkan Allah.
Disebutkan
dalam Shahih Muslim, bahwa Iblis membangun istana di atas air (tipu
muslihat), kemudian menyebarkan istananya itu kepada manusia. Lalu iblis
mendekatkan rumah mereka dan membesar-besarkan keinginan (hayalan)
mereka. Iblis berkata, 'Tidak ada perubahan kenikmatan sampai terjadi
perzinaan'. Yang lainnya berkata, 'Aku tidak akan berpaling sampai
mereka berpisah dari keluarganya.' Maka iblis menenangkannya dan
menjadikan dirinya berseru, 'Benarlah apa yang telah engkau lakukan'.
Kenapa
Iblis begitu bersemangat untuk menjerumuskan orang ke dalam perzinaan
dan perceraian? Karena pernikahan dan berjima dalam balutan perkawinan
adalah sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya. Makanya hal ini sangat
dibenci oleh musuh manusia. Ia selalu berusaha memisahkan pasangan yang
berada berada dalam naungan ridla ilahi dan berusaha menghiasi mereka
dengan segala sifat kemungkaran dan perbuatan keji serta menciptakan
kejahatan di tengah-tengah mereka.
Untuk
itu hendaknya bagi suami-istri agar mewaspai keinginan syetan dan
usahanya dalam memisahkan mereka berdua. Ibnul Qayim berkata dalam
menta'liq hadits anjuran menikah bagi pemuda yang sudah ba'ah, "Setiap
kenikmatan membantu terhadap kenikmatan akhirat, yaitu kenikmatan yang
disenangi dan diridlai oleh Allah."
Seorang suami dalam aktifitasnya bersama istrinya akan mendapatkan kenikmatan melalui dua arah. Pertama,
dari sisi kebahagiaan suami yang merasa senang dengan hadirnya seorang
istri sehingga perasaan dan juga penglihatannya merasakan kenikmatan
tersebut. Kedua, dari segi sampainya kepada
ridla Allah dan memberikan kenikmatan yang sempurna di akhirat. Oleh
karena itu, sudah selayaknya bagi orang berakal untuk menggapai
keduanya. Bukan sebaliknya, menggapai kenikmatan semu yang beresiko
mendatangkan penyakit dan kesengsaraan serta menghilangkan kenikmatan
besar baginya di akhirat. (Lihat: Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin,
hal. 60)
Jima' di hari Jum'at
Uraian
keutamaan hubungan suami istri di atas sebenarnya sudah cukup
menunjukkan pahala besar dalam aktifitas ranjang. Lalu adakah dalil
khusus yang menunjukkan keutamaan melakukan jima' di hari Jum'at dengan
pahala yang lebih berlipat?
Memang
banyak pembicaran dan perbincangan yang mengarah ke sana bahwa
seolah-olah malam Jum'at dan hari Jum'at adalah waktu yang cocok untuk
melakukan hubungan suami-istri. Keduanya akan mendapatkan pahala
berlipat dan memperoleh keutamaan khusus yang tidak didapatkan pada hari
selainnya. Kesimpulan tersebut tidak bisa disalahkan karena ada
beberapa dalil pendukung yang menunjukkan keutamaan mandi janabat pada
hari Jum'at. Sedangkan mandi janabat ada dan dilakukan setelah ada
aktifitas percintaan suami-istri.
Dari Abu Hurairah radliyallhu 'anhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
مَنْ
اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
"Barangsiapa
mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian datang di waktu
yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta. Barangsiapa yang datang
di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban seekor sapi. Barangsiapa
yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti berkurban seekor kambing
gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang keempat, ia seperti
berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang di waktu yang kelima,
maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (dan
memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut mendengarkan dzikir
(khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).
Para
ulama memiliki ragam pendapat dalam memaknai "ghuslal janabah" (mandi
janabat). Sebagaian mereka berpendapat bahwa mandi tersebut adalah mendi
janabat sehingga disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli
istrinya pada hari Jum'at. karena hal itu lebih bisa membantunya untuk
menundukkan pandangannya ketika berangkat ke masjid dan lebih membuat
jiwanya tenang serta bisa melaksanakan mandi besar pada hari tersebut.
Pemahaman ini pernah disebutkan oleh Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah dan juga disebutkan oleh sekelompok ulama
Tabi'in. Imam al-Qurthubi berkata, "sesungguhnya dia adalah pendapat
yang peling tepat." (Lihat: Aunul Ma'bud: 1/396 dari Maktabah Syamilah)
Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus radliyallah 'anhu yang berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ
غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى
وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ
لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا
"Barangsiapa
mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki
dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan
khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah
yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail
setahun." (HR. Abu Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu Majah no. 1077, dan Ahmad no. 15585 dan sanad hadits ini dinyatakan shahih)
Menurut penjelasan dari Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuli dalam Tuhfatul 'Arus,
bahwa yang dimaksud dengan mandi jinabat pada hadits di atas adalah
melaksanakan mandi bersama istri. Ini mengandung makna bahwa sebelumnya
mereka melaksanakan hubungan badan sehingga mengharuskan keduanya
melaksanakan mandi. Hikmahnya, hal itu disinyalir dapat menjaga
pandangan pada saat keluar rumah untuk menunaikan shalat Jum'at. Adapun
yang dimaksud dengan bergegas pergi menuju ke tempat pelaksanaan shalat
Jum'at pada awal waktu, adalah untuk memperoleh kehutbah pertama.
(Lihat: Tuhfatul Arus dalam Edisi Indonesia Kado Perkawinan, hal.
175-176) Wallahu a'lam.
Sumber : http://www.voa-islam.com/islamia/ibadah/2010/07/01/7666/keutamaan-menggauli-istri-di-hari-jumat/
0 comments:
Post a Comment