Saya
harap Bapak menjawab salam saya, mengingat Bapak adalah sosok yang
religius–saya hanya tahu dari semboyan partai Anda yang nasionalis dan
religius—juga santun dalam penuturan. Santun itu pula yang Bapak
tunjukkan ketika Bapak mengadakan tanya jawab dengan rekan-rekan pers.
Satu pertanyaan satu jawaban dan tak boleh ada sanggahan. Waktu itu—saya
lupa tanggalnya, yang pasti di bulan Februari 2012, di Istana
Negara—bapak menyinggung berbagai hal, salah satunya perihal ormas Front
Pembela Islam (FPI).
Dalam
forum itu, Bapak mengatakan: FPI seharusnya intropeksi diri. Kalimat
itu meluncur terkait penolakan FPI di Palangkaraya dan demo kecil di
Bundaran Hotel Indonesia yang dihadiri oleh beberapa waria—saya lebih
senang menyebutnya bencong, pria bertatoo, cewek perokok, bekas pemimpin
majalah seronok dan sutradara liberal.
Pak Presiden yang terhormat,
Pagi
telah nampak. Sang Raja Hari pun mulai menyemburat sinarnya. Udara pun
masih segar. Pun dengan pikiran. Oleh sebab itu, mumpung masih segar,
mari mengolah otak, mari kita bermain dengan logika. Logika tentang
pernyataan bapak. Jika bapak meminta FPI introspeksi, kalau begitu bapak
harus berlaku sama pada yang lain.
Pertama, bapak harus meminta
Ahmadiyah harus intropeksi diri. Mengingat umat Islam di Indonesia
banyak yang menolaknya. Karena Ahmadiyah bukanlah islam, tapi mencoreng
kesucian islam.
Kedua, Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Taman
Yasmin, Bogor, juga harus intropeksi diri karena masyarakat Bogor
menolaknya. Wali Kota Bogor sudah menyiapkan Gedung Harmoni untuk
beribadah dengan harga per sekali pakai Rp 2 Juta tapi para jemaat malah
mutung dan memilih beribadah di trotoar.
Ketiga, Jamaah Islam
Liberal (JIL) juga harus intropeksi diri, karena banyak umat Islam yg
menolaknya. Penolakan hadir karena JIL itu nyeleneh cara berpikirnya.
Kenyelenahan JIL antara lain; mendukung gerakan pornografi dan
pornoaksi dengan dalih kebebasan berekpresi. Mendukung pernikahan
sesama jenis. Mengatakan meragukan kandungan AlQuran. Meragukan
Kerasulan Muhammad SAW. Mengatakan Allah adalah Tuhan segala agama.
Keempat,
Demokrat harus intropeksi diri, karena semakin banyak yang
mencemo’ohnya. Mencemooh karena sudah jatuh pada pusaran kasus yang
makin membuat, kata Anda, karena nilai setitik rusak susu belanga. Tak
jarang rakyat menyebut Demokrat adalah partai bunker koruptor.
Antikorupsi yang menjadi jargon partai binaan Anda hanya tinggal
‘kenangan’ belaka. Barang dagangan, thok. Saya yakin Anda dan keluarga
tidak terjerat bahkan tidak melakukan tindakan sadis bernama korupsi,
akan tetapi Anda terjebak dalam kepungan para bandit uang panas.
Terakhir,
maaf, Bapak dan Wakil Bapak yang pendiam, Boediono juga harus
introspeksi diri, karena kunjungan Bapak dan Boediono ke berbagai
daerah banyak yang menolaknya. Kenapa menolaknya? Anda sendiri yang
lebih tahu jawabannya.
Kuman diseberang lautan jelas kelihatan, gajah dipelupuk mata tak kelihatan mungkin istilah yang cocok untuk Bapak.
Bapak Presiden yang terhormat,
Pada
awal kepemimpinan Anda sebagai Presiden RI, imajinasi saya langsung
melanglang kemana-mana. Anda tergambar dalam imajinasi saya sebagai
sosok perfect. Memiliki segalanya. Karakter yang melodramatik; wajah
yang tampan, fisik yang gagah, latar belakang yang tak buruk dan santun
tutur kata. Dalam perjalanan imajinasi saya pupus bersamaan dengan
pupusnya kewibawaan seorang pemimpin yang Anda sandang.
Sungguh,
hingga saat ini Anda memang sangat santun, tetapi kesantunan itu terasa
tak memiliki aura. Memandang Anda–artinya mencoba mengerti–saya seperti
menatap sebuah potret yang terbingkai. Semu. Penuh pencitraan
.
Di
balik baju kebesaran Presiden, Anda tidak bisa mengelak sorot mata Anda
makin sayu, satu-dua keriput bertambah di wajah Anda. Wajah Anda tak
lagi bersinar seperti penguasa. Jika saja Anda bukan presiden,
barangkali Anda akan tampak lusuh, layaknya Wak Kambali, tetangga saya
di kampung. Badannya hitam legam karena rajin mencangkul di sawah. Yang
saya salut dengannya, ia tak pernah mengeluh, tak pernah sibuk ‘memoles
diri’.
Bapak Presiden yang selalu ikut prihatin,
Anda pernah
mengatakan bahwa pembelian pesawat berjenis 737-800 Boeing Business Jet
2 memang harus dibeli karena memang diperlukan bukan untuk kepentingan
pribadi diri Anda. Pernyataan Anda itu tentu saja menyakiti hari rakyat.
Harga pesawat kepresidenan senilai 91,2 juta dollar atau Rp 912,09
miliar dengan kurs Rp 10.000 itu bisa dimanfaatkan untuk pengadaan rumah
sederhana 9.121 unit dengan harga Rp 100 juta per unit atau pengadaan
sekolah rusak sebanyak 4.560 sekolah dengan biaya perbaikan Rp 200 juta
per sekolah.
Pak Beye, dahulu khalifah Umar naik unta bergantian
dengan pembantunya saat berangkat ke Palestina untuk menerima kunci
Baitul Maqdis, sehingga saat sampai di pintu gerbang negeri itu,
orang-orang malah mengelu-elukan pembantunya, yang kebetulan sedang
dapat giliran naik unta dan Umar yang menuntunnya.
Alangkah
malunya lagi bila tak bisa mencontoh Hasan Al-Banna. Ketika Hasan
Al-Banna bepergian untuk berdakwah, konon ada orang yang mengenalinya
naik kereta kelas tiga. Sebagai pemimpin tertinggi jamaah Islam terbesar
di dunia, rasanya kurang pantas dan tak etis kalau tokoh itu naik
kereta kelas kambing. Ada orang bertanya, mengapa naik kelas 3? Hasan
Al-Banna hanya tersenyum dan menjawab; karena tidak ada kelas yang lebih
rendah lagi.
Renungkanlah Pak Presiden.
Pagi makin
benderang, hari makin cerah. Banyak yang ingin saya sampaikan, namun
saya harus pergi kuliah. Oh, iya, saya seorang mahasiswa semester 6.
Saya juga aktif di kegitan kampus yang tak jarang membicarakan hal-hal
ideal dengan rekan sesama mahasiswa. Berharap negara ini makin cerah.
Sebelum
saya akhiri surat merah ini, saya teringat dengan kicauan seorang dosen
di Twitter; banyak orang pada berebutan untuk jadi RI-1 sebab tidak
tahu kelak beratnya pertanggungjawaban di akhirat.
0 comments:
Post a Comment